Jalan Sunyi Universitas Terbuka

Mahasiswa UT – Telah menjadi rahasia umum, dewasa ini, kampus-kampus begitu gencar mengejar predikat world class university (WCU).

Kehebohan kian menjadi-jadi kala pemerintah mengalokasikan anggaran bagi universitas tertentu agar dapat segera menyabet predikat WCU. Segenap energi dikerahkan untuk memenuhi prasyarat penilaian agar dapat masuk predikat WCU.

Bertebaran spanduk permohonan doa restu dari sivitas akademika agar mendapat penasbihan sebagai WCU. Kegiatan seminar dan diskusi perihal strategi menjadi WCU juga makin semarak. Ironis, obsesi untuk dapat predikat WCU malah menyandera kampus-kampus dalam dunia simulakra.

Simulakra, menurut Jean Baudrillard (1985) dalam Simulacra and Simulations, adalah realitas semu yang menggelayut dalam fenomena kehidupan masyarakat kontemporer, tak terkecuali dalam dunia kampus. Ya! Kampus sebagai representasi agen perubahan dan pembangun peradaban, kini mengalami disorientasi fungsi sebagai pemburu predikat WCU.

Simulakra pemeringkatan kampus

Baudrillard menyebut gejala ini sebagai simulakra, yaitu ketika representasi tidak memiliki kaitan dengan realitas dan telah menjadi realitas itu sendiri.

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, istilah simulakra mengandung makna: (1) ’dunia yang ditandai dengan pengambilalihan kebenaran oleh konstruksi kebenaran yang bersifat fiktif, retoris, dan palsu; realitas semu’; (2) ’dunia yang dibentuk oleh permainan citra, retorika, serta trik pengelabuhan informasi’; (3) ’dunia yang di dalam’.

Sudah jadi diskursus umum, orientasi kampus-kampus zaman kiwari bertumpu pada kompetisi dan pemeringkatan.

Sudah jadi diskursus umum, orientasi kampus-kampus zaman kiwari bertumpu pada kompetisi dan pemeringkatan. Meminjam istilah Herbert Marcuse, disorientasi kampus dewasa ini bisa disebut sebagai fenomena one dimensional man, yakni penggiringan masyarakat pada satu sistem yang sama: sistem kapitalis lewat pendidikan, media, dan sebagainya.

Dalam pendidikan, penyeragaman sistem diinfiltrasi ke dalam satu standar global pemeringkatan kampus melalui Quacquarelli Symonds (QS), Times Higher Education (THE), Shanghai Jiao Tong University (SJTU), Webometric, dan sebagainya.

Agus Nuryanto, dalam buku Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan (2008), mengungkapkan bahwa kompetisi intelektual yang bermuara pada pemeringkatan kampus dalam skala internasional—sebagaimana dijalankan oleh Webometrics, THE, QS, SJTU, dan lain-lain—merupakan manifestasi tradisi neoliberalisme.

Baca juga:   Kuncinya Ada di Kepala

Kecenderungan kampus-kampus yang kian getol mengejar reputasi, citra, dan status WCU merupakan afirmasi atas praktik pembelokan dan pembinasaan nilai-nilai intelektual dalam konteks Indonesia.

Jalan Sunyi Universitas Terbuka
Rektor Univeritas Terbuka Ojat Darojat dalam acara Puncak Dies Natalis Ke-37 Universitas Terbuka, secara daring dan luring di Kampus UT, Tangerang Selatan, Sabtu (4/9/2021),

 

Kita mesti sadar bahwa ekspektasi khalayak pada universitas sejatinya tak dilihat dari banyaknya artikel yang dimuat dalam jurnal internasional ataupun produktivitas penelitian dosen, tetapi implikasi riset dan jurnal itu terhadap kelangsungan hidup khalayak. Lebih jauh, pemeringkatan semacam ini juga tak berdampak pada kualitas pembelajaran dan perkuliahan di kampus karena proses perkuliahan dan konten kurikulum tidak menjadi indikator penilaian THE, Webometric, SJTU, dan QS.

Secara filosofis, pertimbangan visi kampus seyogianya didasarkan pada: (1) konteks di mana kampus itu berada serta (2) hakikat peran dan tugas universitas. Konteks kampus meliputi aspek geografis, seperti: kampus terletak di perdesaan atau perkotaan, potensi lingkungan sekitar, kebutuhan dasar masyarakat sekitar, problematika lingkungan sekitar.

Sementara hakikat peran dan tugas universitas meliputi pengembangan potensi segenap sivitas akademika, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penjaga nilai etis dan kebenaran intelektual (Edi, 2019).

Hal ini segendang-sepenarian dengan buah pikir Ki Hajar Dewantara yang termaktub dalam magnum opus berjudul Pendidikan, ”Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat.”

 

Pendidikan tinggi inklusif

Universitas Terbuka (UT) hadir sebagai wujud penunaian amanah Ki Hajar Dewantara pada zaman kiwari. Ketika kampus-kampus lain menjelma menara gading yang elitis, UT hadir menawarkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif.

Ketika kampus-kampus lain berlomba untuk menyeleksi calon mahasiswa dengan persyaratan akademik dan nonakademik yang pelik, UT hadir dengan mengusung slogan ”Making Higher Education Open to All”. Ketika lulusan SMA/SMK sederajat menghadapi kegamangan atas pilihan: bekerja atau berkuliah, UT menyajikan solusi moderat dengan menawarkan opsi bekerja sambil kuliah dan sebaliknya. —Baca juga: Universitas Terbuka Targetkan 1 Juta Mahasiswa

Baca juga:   Mengapa Kita Bisa Merasa Bosan

UT yang dulu sempat memikul stigma inferior, lamat-lamat mampu menunjukkan superioritasnya melalui ”misi suci” membumikan dan memasyarakatkan—bukan merendahkan!—pendidikan tinggi. UT mendiseminasikan kerangka berpikir ilmiah kepada 310.974 mahasiswa, di dalam dan luar negeri. UT pionir perkuliahan jarak jauh dengan mode daring—yang kini jadi kiblat penyelenggaraan kuliah online. —Baca juga: Banyak Terobosan, Alumni Universitas Terbuka Unggul Kualitas juga Kuantitas

Khitah dan garis perjuangan UT memang berbeda dengan universitas-universitas lain.

Jika bukan UT, bagaimana cara Bung Endri—tulang punggung perusahaan multinasional di Malaysia—dapat tetap menggapai asa jadi sarjana di tengah tungkus lumus kesibukan bekerja? Jika bukan UT, bagaimana cara Mbak Niken mewujudkan mimpi ibunya: jadi insan cendekia meski harus bekerja sebagai PMI di Malaysia.

Jika bukan di UT, bagaimana cara Pak Marsam—pekerja migran berusia 49 tahun di negeri jiran—bisa menggapai mimpinya menjadi sarjana dan beraktualisasi diri dalam kancah akademik? Ibarat fenomena gunung es, Pak Marsam, Bung Endri, dan Mbak Niken hanyalah secuil dari selaksa kisah heroik mahasiswa UT lainnya.

Khitah dan garis perjuangan UT memang berbeda dengan universitas-universitas lain. Ini bukan untuk dipertandingkan dan diperbandingkan, apalagi distratifikasi dan diperingkatkan, sebagaimana tragedi simulakra di pembuka tulisan ini.

UT adalah anomali. UT merobohkan menara gading perguruan tinggi dan menapaki ”jalan sunyi” untuk tegak lurus membumikan pendidikan tinggi. Jalan sunyi yang telah ditempuh selama 37 tahun dan membawa UT bertubi-tubi merengkuh prestasi dan mendapat afirmasi. Dirgahayu Universitas Terbuka!

 

***

Sumber: Kompas – Jalan Sunyi Universitas Terbuka
Oleh: Ardian Nur Rizki Pengurus, Universitas Terbuka Pokjar Johor, Malaysia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *