Sarjana (Jangan) Melupakan Desa

Mahasiswa UT, Sarjana (Jangan) Melupakan Desa – “Kalau kamu sudah lulus kuliah nanti, jangan pulang ke desa. Setinggi apapun ilmu, sebesar apapun prestasimu, di sini susah cari pekerjaan. Ujung-ujungnya ya nyangkul di sawah. Lihat tu, mau seperti bapakmu?” tutur ibu di pertemuan meja makan. Bapak di seberang meja hanya senyum-senyum cengengesan.

Kakak saya yang sudah merampungkan sekolah pascasarjana juga demikian. Begitu selesai studi, tidak lantas pulang ke desa untuk memupuk karier intelektualnya. Ia lebih memilih hidup di kota, menjadi dosen, meneliti banyak hal, dan sederet kerja-kerja intelektual yang hampir mustahil dilakukan di desa.

Kota adalah tempat para mahasiswa membangun relasi sosial dan kultural. Jika selesai kuliah kemudian memilih hidup di desa, sama saja kehilangan relasi yang telah lama dibangunnya. Sepertinya nasihat serupa juga pernah ibu sampaikan pada kakak saya.

Kesadaran Bersama

Apa yang dikatakan ibu di atas sudah seharusnya menjadi kesadaran bersama. Saat ini masih banyak anak-anak desa yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Wawasan seputar pendidikan yang masih rendah yang membuat orang-orang desa enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Setelah lulus SD atau SMP, biasanya kalau tidak pengangguran, ya merantau ke kota agar segera bisa membantu perekonomian keluarga. Atau paling tidak, asalkan jangan jadi pengangguran saja.

Adanya komoditas sarjana desa yang menetap di desa sangat diperlukan. Mengapa ini penting? Komoditas ini nantinya akan memberi wawasan bagaimana sebenarnya potret para sarjana yang sebenarnya. Sehingga orang-orang tua di desa sadar dan merasa penting untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Apa yang dikatakan ibu di atas sudah seharusnya menjadi kesadaran bersama. Saat ini masih banyak anak-anak desa yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Wawasan seputar pendidikan yang masih rendah yang membuat orang-orang desa enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Setelah lulus SD atau SMP, biasanya kalau tidak pengangguran, ya merantau ke kota agar segera bisa membantu perekonomian keluarga. Atau paling tidak, asalkan jangan jadi pengangguran saja.

Adanya komoditas sarjana desa yang menetap di desa sangat diperlukan. Mengapa ini penting? Komoditas ini nantinya akan memberi wawasan bagaimana sebenarnya potret para sarjana yang sebenarnya. Sehingga orang-orang tua di desa sadar dan merasa penting untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Baca juga:   Cinta Seorang Lelaki Sejati - Sebuah Kisah Nyata

“Oh, gitu ya kalau sekolah tinggi itu. Ya sudah, anak-anak saya besok harus bisa kuliah tinggi.”

Terus, apa cukup dengan hadirnya komoditas sarjana? Tentu belum. Tidak mungkin banyak sarjana di desa; gara-gara tidak ada prospek pekerjaan dan fasilitas yang mendukung, akhirnya membuat sarjana-sarjana itu malah nganggur. Justru ini berbahaya dan akan membenarkan dugaan salah kebanyakan orang-orang desa sementara ini: percuma sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya jadi sarjana pengangguran.

Agar desa layak untuk menjadi komoditas para sarjana, yang tentunya pola hidup mereka tidak bisa disamakan dengan orang desa pada umumnya, maka harus ada langkah-langkah strategis. Misal, para sarjana tentu terbiasa melakukan pekerjaan berbasis internet. Nah, ini problem di desa, akses internet belum merata. Bagaimana mungkin para sarjana itu betah di desa, jika salah satu “kebutuhan pokok” mereka saja tidak tercukupi?

Saya jadi ingat dulu awal-awal pandemi. Kakak saya memutuskan untuk pulang kampung sebelum Jakarta berstatus zona merah. Pikirnya waktu itu, sebelum pendemi “mengganas” di ibu kota, lebih baik pulang kampung duluan. Daripada nanti susah mau ke mana-mana di kota. Aktivitas kuliah akhirnya ia lakukan secara daring di kampung. Niatnya cari ketenangan dari ingar-bingar corona di kota, malah resah karena sinyal internet raib entah ke mana. Duh!

“Sudah susah sinyal, harga kuota internat mahal lagi. Mau pasang wifi, akses tidak terjangkau.”

Selain fasilitas, tentunya pemerintah juga perlu menyediakan lapangan kerja yang layak untuk para sarjana desa . Tidak mungkin kuliah tinggi-tinggi, tapi setiap pagi nenteng cangkul ke sawah, pulang panas-panasan, dan penghasilan tidak menjanjikan. Dan, lagi-lagi ini akan membenarkan dugaan salah masyarakat desa, bahwa sekolah tinggi-tinggi percuma jika ujungnya hanya jadi pekerja kasaran dengan penghasilan tidak menjamin penghidupan.

Realitas di desa sekarang, lapangan kerja yang sesuai dengan prospek sekelas sarjana belum ada. Banter-banternya hanya jadi guru SD atau SMP, itu pun gaji tidak seberapa dibanding hidup di kota.

Wawasan Pendidikan

Akses pendidikan memang semakin mudah, membuat siapapun bisa setinggi mungkin bersekolah. Tidak peduli ia anak pejabat atau rakyat. Selagi ada niat, pasti bukan tidak mungkin untuk merampungkan jenjang demi jenjang pendidikan. Jika dulu orang berekonomi pas-pasan hanya bisa mimpi jadi sarjana, kini, jangankan sarjana, pascasarjana, atau sampai doktor pun, bukan hal yang mustahil.

Baca juga:   Apakah Kita adalah Agen -Agen Pelestari Rape Culture?

Hanya saja, wawasan tentang pendidikan masyarakat desa masih sangat rendah. Hadirnya komoditas sarjana di desa adalah solusi, tentunya dengan fasilitas dan penyediaan lapangan kerja yang sesuai dengan prospek sekelas sarjana. Lagian, sarjana desa kok tidak tinggal di desa? Desa yang dulu melahirkannya.

Pernah suatu ketika, ibu menasihati saya, “Nak, kuliah yang tinggi ya biar tidak seperti bapakmu, tiap hari panas-panasan di sawah, penghasilan tidak seberapa.”

Dari cara ibu menasihati, sudah tampak bahwa dunia pendidikan di mata orang desa masih dipandang lebih ke sisi materialistiknya. Nasihat ibu di atas adalah potret cara berpikir orang desa pada umumnya. Dan ini akibat kurangnya wawasan seputar pendidikan. Lah iya, wong kebanyakan orang tua di desa itu dulunya tidak sekolah. Ibu saya masih untung, dulu sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR).

Sebagian orang tua desa memandang pendidikan hanya buang-buang biaya, waktu, dan tenaga. Sebagian yang lain, seperti yang dipersepsikan oleh ibu saya, pendidikan lebih dipandang sisi materialistiknya. Padahal, jika pendidikan tinggi, bukan hanya potensi ekonomi tercukupi, tetapi juga akan menjadi generasi intelektual yang mampu berkontribusi untuk peradaban.

Inilah mengapa perlu hadirnya komoditas sarjana di desa.

Bukan hal mustahil, jika banyak sarjana yang hidup di desa, akan banyak membawa kemajuan untuk desa itu sendiri. Seperti, misalkan, dengan hadirnya sarjana akuntansi dan manajemen, tentu akan membantu problem yang dari dulu diwariskan petani desa dari generasi ke generasi. Sehingga tidak ada lagi petani yang tergantung pada tengkulak dan rentenir yang selama ini justru merugikan mereka sendiri.

Jangan sampai, sarjana-sarjana desa justru melupakan desa tempat ia lahir. Pernah kecil dan tumbuh di desa, sudah menjadi orang besar, giliran ia berkontribusi dan membesarkan nama desanya.

***

Muhamad Abror asal Losari, Brebes; mahasantri Mahad Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Jakarta

Sumber: Sarjana (Jangan) Melupakan Desa – Detik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *