Mahasiswa UT – Rape Culture (Budaya Pro Perkosaan) adalah sebuah istilah yang mulai dipakai di Amerika Serikat tahun 1970an, untuk menunjuk fenomena dimana masyarakat menyalahkan korban perkosaan dan menganggap kekerasan seksual yang dilakukan pria adalah normal.
Rape culture adalah :
ketika usiaku 6 tahun dan abangku menonjokku sehingga 2 gigiku tanggal, dan bukannya menegur abangku, ibuku justru membentak aku, “Stefanie! Jangan bikin abangmu marah!” Dan satu-satunya hiburanku adalah bisikan ibu di telingaku, “Stttt… cuekin aja. Jangan melawan, dia cuma mau cari gara-gara.”
Dan itulah yang lantas menjadi pengangan hidupku sebagai anak kecil usia 6 tahun : Jagalah sikap agar tidak ada yang terprovokasi. Sebuah konsep yang akhirnya membuatku berpikir bahwa wajar bagi lelaki untuk menjadi predator perempuan…dan adalah salahku, jika mereka sampai tergerak untuk melakukan kekerasan padaku…
Rape culture adalah :
ketika di meja makan, ayahku berkata bahwa perempuan-perempuan yang diperkosa itu, sebenarnya memang layak diperkosa. Dia bilang, “Aku melihat mereka berkeliaran di jalanan dengan rok mini dan merias wajahnya. Mereka memang minta diperkosa.”
Ketika itu aku berpikir, “Aku adalah anak perempuan kesayangan ayahku. Apakah dia pikir aku, anak kesayangannya ini, layak diperkosa oleh anak lelaki dari ayah-ayah yang lain, karena pakaianku? Dan karenanya, ayahku tidak akan melindungiku, ketika itu terjadi? Sungguh???”
Rape culture adalah :
ketika kau sangat merasa malu ketika menjadi korban perkosaan… dan memilih lebih baik sekalian dibunuh saja, daripada tetap hidup dan harus menjelaskan : “Ayah, ibu, sumpah, itu bukan salahku. Aku tidak meminta diperkosa. Aku tidak pernah ingin jadi pusat perhatian. Aku tidak meminta untuk dijadikan target. Aku tidak minta untuk menjadi lemah hanya karena aku terlahir dengan dua kromosom X, untuk selalu ketakutan, untuk selalu berjalan terburu-buru sambil terus menengok ke belakang, ke depan, ke samping. Aku tidak pernah berharap tubuhku jadi ajang pesta bagi lelaki, cemilan bagi pria yang selalu kelaparan sex.”
Rape culture adalah :
aku tidak boleh membela seorang teman perempuanku, jika ada anak berangasan yang menggerayangi pantat temanku, karena membela sesama perempuan hanya akan menjadikanku target berikutnya. Kaum perempuan sebaiknya diam saja, agar tetap selamat. Kami dibesarkan dengan keyakinan-keyakinan : bahwa kami lemah, bahwa tubuh kami halus lembut, dan kami terlahir untuk selalu kalah, maka pasrah sajalah dan jangan berbuat aneh-aneh. Tapi aku memilih lebih baik berkelahi fisik, daripada hidup dalam budaya yang pengecut dan bisu.
Rape culture adalah :
memahami bahwa lelaki-lelaki ini, memiliki masalalu yang sendu… sehingga kami, kaum perempuan jangan sampai melakukan hal apapun yang bisa membuat traumanya berdarah lagi, yang akan dipakainya sebagai pembenaran untuk melakukan kompensasi dan pembalasan terhadap makhluk lain yang sudah diajarkan untuk tidak melawan : perempuan.
Rape culture adalah :
“Kamu sungguh beruntung, aku tidak memperkosamu Stef, hanya memasukkan jariku pada vaginamu. Seharusnya kamu bertulut dan berterimakasih padaku karena sudi menyentuh tubuhmu” Rape culture adalah ketika dia mengatahan bahwa setelah dia menidurimu, tak ada lagi yang akan sudi menginginkanmu, dan kau mempercayainya.
Rape culture adalah :
mewanti-wanti anak gadismu agar jangan sampai diperkosa, ketimbang mengajari anak lelakimu bagaimana memperlakukan perempuan dengan pantas. Mengajari anak lelakimu bahwa mendapatkan sex bukanlah hak. Mengajari mereka bahwa memanggil perempuan dengan sebutan perek, pelacur, pecun adalah sebuah tindakan yang merendahkan si penyebut itu sendiri karena mulutnyalah yang kotor.
Ketika aku memiliki anak perempuan, aku membuatnya paham bahwa dia adalah kebanggaanku.
Kalau aku punya anak perempuan, aku akan mengajarkannya cara melawan.
Aku akan menyambutnya dengan bangga, jika dia pulang ke rumah dalam keadaan marah dan tangannya terkepal. Karena kita semua ini adalah manusia yang tidak harus pasrah saja ketika diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.
Banyak orang tua mengajarkan anak perempuannya untuk tidak membalas api dengan api; tapi akan kukatakan pada anakku : mereka takut jika kamu berdaya dan memiliki api itu, nak. Maka, milikilah api itu agar mereka tahu siapa kamu : orang yang mampu melawan..!
Anakku, jangan meminta maaf pada dunia, jika kau mencintai dan menghargai dirimu sendiri.
Anakku, aku hidup karena aku menghargai diriku, karena aku tahu caranya melindungi diri, karena aku tahu caranya bangkit setelah jatuh, menghapus debu di wajahku dan kembali berjalan… karena aku tahu : pada akhirnya aku hanya bisa mengandalkan diriku. Karena aku sadar bahwa aku adalah enigma – sebuah misteri, paradox, mahakarya yang belum selesai yang harus kuukir untuk menjadi diri yang seperti kuinginkan.
Aku tidak akan mengajarkan anakku untuk bersembunyi; malah akan kutunjukkan bagaimana caranya tampil ke depan dengan kepercayaan diri yang penuh.
Akan kuajarkan anakku, bahwa dia bukanlah ‘putri kecil, gadis cantik, atau perempuan seksi’ bagi siapapun.
Anak perempuanku adalah sebuah sinar yang terang, dan kau… ya kau! Sebaiknya melindungi matamu dari silaunya!
(Disadur dari puisi Stefanie Lyn Kaufman).
https://while-you-were-sleeping.com/…/rape-culture…/…
***
—Apakah Kita adalah Agen -Agen Pelestari Rape Culture?—
Silahkan baca tulisan aslinya disini…