Kuncinya Ada di Kepala

Mahasiswa UT – Sejak 2002 jadi tempat curhat guru, ortu, kawan, dan kolega… aku menemukan bahwa ruwet atau tidaknya hidup seseorang itu bisa ‘diramalkan’ dari bagaimana cara dia berpikir.

Masalah hidup itu, ukurannya bisa kecil bisa juga besar.

Tetapi, masalah dengan aneka ukuran ini, jika diproses dengan cara berpikir ruwet, akan bisa membuat situasi menjadi semakin darurat dan gawat.

Sebaliknya, dengan disiplin berpikir (dimulai dari mencari data yang benar/sahih, menyimpulkan secara munasabah (logik), dan menerapkan rencana yang terstruktur), masalah besar bisa dikelola sehingga selesai, dan hanya menimbulkan goncangan kecil saja di awalnya.

********

Barusan, jam 17.10 sampai 18.39 tadi aku memberikan coaching kepada seorang istri dari Lombok yang suaminya menyeleweng.

Ketahuan 4 bulan yang lalu.

Segera setelah ketahuan itu, atas desakan istri dan keluarga besarnya, diadakanlah musyawarah bertiga : istri, suami, dan pihak ketiga.

Lalu masalah selesai. Suami insaf, perempuan ketiga yang mengaku cuma iseng itu, lalu mundur. (Mungkin males juga dia pikir, cuma ‘flirty-flirty omong kosong di medsos doang’ kok dianggap serius sampai disamperin oleh istri sah segala. Ah, nggak seru. Cabut aja deh gue).

Singkatnya ditemukan bukti (dari jejak chat) mereka memang cuma chattingan saja. Dan itupun baru dilakukan 4-5 bulan). Tidak ada jejak melakukan hubungan intim, atau kata-kata yang menjurus ke ajakan esek-esek atau janjian ketemuan untuk gituan.

Nah persoalannya, klienku ini, selama 4 bulan ini mengaku nggak tahan lagi. Ia ingin bercerai saja. Dia dihantui oleh perbuatan suaminya 4 bulan yang lalu. Katanya, dia sudah nggak bisa percaya kepada suaminya lagi.

Meskipun suami sudah ada di rumah terus, nggak ngelembur-ngelembur…

Meskipun suami sudah memblokir nomor perempuan itu…

Baca juga:   KARENA TIDAK SEMUA ORANG ITU MANUSIA

Meskipun suami sudah mengajak jalan-jalan dan mengusulkan untuk pamer acara traveling tersebut di medsos sebagai bukti bahwa suami ini mencintai istrinya…

Meskipun suami sudah meminta maaf kepada seluruh keluarga istri…

Meskipun suami sudah membelikan cincin berlian seharga puluhan juta….

“Saya sudah nggak tahan bu. Pikiran saya jelek terus…”

Aku cuma bisa mengajukan pertanyaan ini :

“Baik, ingin cerai ya..?”

“Iya…”

“Mari kita berhitung. Jika ibu bercerai di masa pandemi ini, gajimu cukup untuk menghidupimu dan 3 anakmu secara layak kah?”

“Nggak lah bu. Tapi kan suami harus ngasih nafkah ke 3 anak. Pengadilan akan memutuskan begitu!”

“Baik. Katakanlah, pengadilan memutuskan suami membayar sejumlah sekian setiap bulan. Tapi kalau dia mangkir, apalagi jika kelak dia menikah lagi lalu istrinya mempengaruhinya untuk fokus ke keluarga baru, gimana? Ibu pernah melihat kenyataan di negeri ini, pengadilan bisa memaksa sampai menyita harta mantan suami?”

“……ng…. nggak… Harus ada gugatan baru ya bu?”

“Ibu bisa menggugat sendiri, atau butuh bantuan lawyer?” Tanyaku.

“Wah iya… butuh lawyar. Jadi gimana ya bu?”

“Menurut ibu sendiri, pilihan apa saja yang tersedia di sini?”

“Saya harus fight…!!! Merebut hak anak-anak melalui pengadilan…!”

Lalu dengan nada suara tak yakin, dia melanjutkan,

“Atau, saya harus move on dan mencari bisnis atau usaha tambahan untuk menambah penghasilan…..”

“Pilihan mana yang lebih enak dilakukan oleh ibu?” Tanyaku lagi.

“Kok jadi keenakan banget si istri berikut ya bu? Suami saya penghasilannya besar… saya ini, sebetulnya tak perlu bekerja. Saya bekerja hanya untuk mengisi waktu….” jawabnya

Klienku ini berubah pikiran, rupanya. Jadi aku tersenyum. Tapi aku diam saja, memberikan kesempatan padanya untuk berpikir…

Baca juga:   5 Tips Menyelesaikan Buku Bacaanmu

Sekitar 10 menit dia terdiam.

Lalu matanya mulai berkaca-kaca….

“Saya ini benci sekali pada diri saya. Kenapa saya ini bodoh sekali. Bodoh. Bodoh. Bodoh.” ujarnya sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri dengan telunjuk.

“Bodoh bagaimana?” Tanyaku.

“Iya, saya nggak bisa mengatur emosi dan ego saya… Gimana caranya ya bu…”

********

Naaaaaah aku seneng nih kalau orang sudah sampai di tahap ini : sadar bahwa pikiran harus mengambil alih kendali atas emosi.

Lalu kuselesaikan metode coaching ini. Kukatakan padanya, bahwa kalau sudah tanya ‘bagaimana caranya’ maka itu adalah sesi mentoring. Bukan coaching lagi.

Dia setuju untuk melanjutkan sesi di hari lain, khusus mentoring untuk mengelola emosi dan membangun diri.

Bahagianya memberikan waktu dan perhatian bagi orang lain itu, begini : KETIKA SESEORANG MENEMUKAN SENDIRI, jalan keluarnya…. Aku hanya menemani di sepanjang proses pencarian jalan keluar itu.

Nana Padmo,
Minggu Wage, 5 September 2021, 19:48
~ repost Kamis Pahing, 10 Februari 2022, 08.21
——

Catatan :
~ Nama, tempat, dan detail lain sudah diganti untuk menjaga kerahasiaan.
~ Jika anda ingin coaching denganku, bisa mendaftar ke Ric Erica di 0812 9292 1550

***

Ikuti Nana Padmo di:
Twitter – @NanaPadmo
Facebook – Nana Padmo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *