Mahasiswa UT – Aku dan Atypical Depression adalah sebuah karya dari seorang Nana Padmo. Bila merasa tertarik dengan tulisan dan pemikirannya silahkan ikuti akun sosial medianya. Karena disanalah beliau sering membagikan buah pikirannya.
***
Tulisan ini, sudah lama tayang, tanggal 24 Maret 2021 di grup tertutup, bernama L.I.K.E Indonesia. Waktu itu aku belum siap menceritakan detail, jadi hanya kushare di sana. Meskipun begitu, aku tidak pernah membantah atau menutupi bahwa aku adalah penyintas depresi.
Namun, sore ini aku memutuskan untuk terbuka, terutama sebagai hadiah bagi Pangeran Arjuna yang sekarang sedang berlibur ke Swiss, negeri impian yang belum sempat kulihat….
Selamat membaca, selamat menutup weekend. Semoga besok kita semua siap bekerja lagi.
*****
Ini adalah tulisan tentang masa lalu dan depresiku. Sebuah tulisan yang kujanjikan kepada Renyta. Karena kubilang padanya : perjuangan kami mirip.
Jadi, sekitar tahun 1997 sampai 1999, saat usia 29-an, aku pernah mengalami depresi, efeknya aku sampai jatuh dan lumpuh seluruh badan di kantor pada tahun 1999 (sekitar tahun ini lah ya, aku lupa persisnya).
Ceritanya begini :
Suatu pagi yang sepi karena para pegawai belum datang, di ruangan kerjaku sebagai seorang Senior Manager, aku sedang menelpon Gunther W Holtorf (pembuat buku peta Jakarta).
Menelponnya pakai telpon meja yang ada kabel mlintir-mlintirnya itu lho….
Tahu-tahu, tanganku yang memegang gagang telpon di dekat telinga, jatuh ke meja. Tak ada daya.
Sambil merasa heran, aku lalu menjorokkan tubuhku ke depan, agar bisa mendekatkan mulutku ke gagang telepon yang telah tergeletak di meja “Gunther, something is wrong. Can I call you back?”
Setelah sambungan telpon putus, aku tak bisa bangkit dari kursiku, malah jatuh ke lantai. Lumpuh total.
Aku tak bisa bergerak.
Kantor masih sepi karena begitulah kebiasaanku : bekerja pagi-pagi, agar ketika anak buah datang jam 9, aku sudah bisa memberikan brief dan tugas ke mereka masing-masing.
Dalam keadaan tergeletak itulah, aku tiba-tiba didera rasa sedih yang luar biasa. Moodku gelap dan aku menangis meraung-raung dengan volume suara maksimal, tanpa bisa kutahan.
Setengah mati aku menahan diri dan berusaha melirihkan suaraku, tetapi aku tak sanggup (oh percayalah. Aku adalah orang yang gengsian, dan nggak mau terlihat lemah). Jadi diantara rasa histeris yang kualami, aku juga panik karena tidak mau terlihat seperti ini.
Para security, office boy dan office girl segera berdatangan.
Lucunya, diantara tangisan dan sedu sedanku, aku masih bisa memberikan instruksi kepada mereka untuk mengangkatku dan membaringkanku ke sofa di ruang kerja. Lalu meminta tubuhku diselimuti dengan shawl yang selalu kubawa kerja karena ruangan kerjaku bisa menjadi sangat dingin jika hujan.
Intinya : kesadaranku masih jalan. Jernih.
Aku masih bisa melakukan analisa atas diriku. Aku masih mengingat-ingat tadi pagi makan apa, incase aku keracunan makanan.
Tetapi tangisan ini tidak selesai sampai 2 jam selanjutnya. Sampai semua pegawai, manager dan direktur datang. Sampai akhirnya aku dibawa ke rumah sakit MMC dan ditangani oleh Prof Dr Sasanto, spesialis Kedokteran Jiwa.
Singkatnya, aku dirawat. Dikasih obat penenang. Dan aku lupa semua penjelasan masa itu. Mungkin saking kuatnya obat penenang… aku bego kuadrat. Rasanya emosiku menjadi baal. Numb. Jadi tenang sih. Tapi ngambay. Bloon gitu.
Baru kemudian aku tahu, bahwa aku mengalami Atypical Depression, dengan efek Leuden Paralysis. Kelumpuhan tubuh yang parah, untuk sementara.
Selepas itu, karena aku nggak mau terus-terusan tergantung pada obat… aku melatih diriku untuk menjaga ketenangan batin… memilah informasi yang masuk… menghindari orang-orang yang ‘abrassive’… dan : mengenali simptomnya. Agar ketika ‘daya tahanku’ sudah melemah… aku akan segera mundur dari ‘kehidupan’ (pekerjaan, pergaulan, bahkan menjauh dulu dari relasi/rumah tangga/keluarga)
Itu makanya aku bisa menghilang 3 hari atau seminggu… tidak bekerja, tidak menerima telpon, dan menolak ketemu siapapun termasuk orang rumah.
Aku berdiam di kamar saja. Berproses menguasai diri. Pampering (ngemong) emosiku sampai aku berhasil berpikir positif, sambil menciptakan rasa senang, dengan cara membaca komik yang lucu-lucu, mendengarkan musik, atau, malah diam saja. (Meditasi. Tidur)
********
Sepanjang hidupku, aku sudah mengalami 3 kali kelumpuhan tubuh. Salah satu diantaranya, di ruang tunggu airport Soekarno Hatta. Menjelang penerbangan ke Singapore.
Kelumpuhan-kelumpuhan yang terjadi berikutnya ini, aku tidak tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena aku kena penyakit lain. Tapi bisa jadi, tanpa sadar aku sudah depresi lagi.
Namun, karena saat itu aku sudah berpengalaman, jadi aku tidak histeris lagi. Meskipun aku menjadi gloomy, tegang, dan menangis berlinang-linang air mata (dalam hening) tanpa terbendung.
Kebayang kan, kayak apa repotnya..? Dalam keadaan seperti begitu meminta tolong orang sekitar untuk melapor dan membawakan kursi roda…?
Meskipun akhirnya aku bisa berhenti menangis dan didorong di atas kursi roda ke dalam pesawat… lantas sesampainya di Singapore juga didorong di atas kursi roda menuju taksi yang segera lari ke rumah sakit.
Umurku sekitar 45 tahun saat itu. Sikonku sedang sakit menahun dan jadi bangkrut. Sampai harus jual-jual aset berupa apartemen bertipe penthouse. Bayangin. Aku pernah tajir lho hhahahaa..
Dan di situlah aku memutuskan untuk hidup santai : dalam artian HANYA BEKERJA DI BIDANG YANG KUSUKAI SAJA… sehingga, jika toh aku bekerja lembur, itu rasanya seperti bermain saja….
Sekarang sih aku tinggal di apartemen tua yang kecil saja. Hidup sederhana sambil memelihara ketenangan batin dengan cara : memutuskan menjauh dari konflik.
Oh, awalnya ini susah..! Hahaha…
Sebagai perempuan pemberani dan punya nyali untuk berantem sama siapa saja, menyingkir dari pertikaian itu rasanya gengsi banget…! Sumpah…!
Apalagi egoku besar, Aku nggak akan merasa puas kalau belum ‘mites’ orang yang (kuanggap) resek sampai dia terpojok dan dipermalukan.
Aku sampai terpaksa membangun ‘cara pandang’ tertentu untuk membantu diriku : aku menganggap kastaku tinggi, sehingga aku justru akan merasa gengsi kalau berantem dengan ‘orang yang nggak level’.
Sombong..?
Bukan. Ini strategiku untuk ‘menipu’ diriku sendiri. Aku menciptakan false belief untuk membantuku agar tetap enteng… karena aku ‘nggak nganggep penting’ semua orang yang toksik bagiku.
Kuabaikan mereka.
Atau aku menolak ketemu mereka.
Apakah selalu berhasil…?
Oh tentu tidaaak..!
Kontrol diri terhadap depresi adalah pekerjaan menetap sampai mati.
Itu makanya aku rajin memblokir orang-orang yang mbacotan di medsos.
Itu makanya aku sangat memilih pertemananku di medsos, supaya status yang lewat-lewat di timelineku adalah orang-orang yang adem…
Itu makanya aku mendisiplinkan diriku untuk MENGALIHKAN FOKUSKU dari kelakuan dan nyinyiran orang toksik. (Itu makanya aku tak akan terlalu menyimak gosip… kenapa? Karena gosip kan mbahas negatifnya orang lain to? Ini pun akan menjadi stressor bagiku. Jadi, kalau ada yang ‘mbahas-mbahas’ orang lain ke aku, aku akan menanggapinya selintas, lalu menyingkir. Aku nggak tahan mbahas beginian berlama-lama….)
Itu makanya aku tidak suka nge-geng dengan banyak orang… karena seringkali, setelah lingkaran pertemanan menjadi 10-15 orang… hmmm mulai deh, yang ini berseteru dengan yang itu… Si A ngutang sama si B lantas urusan jadi ruwet… Lalu ada geng di dalam geng. Berkubu.
Malesin, sumpah..!
Itu makanya aku mudah memutuskan beberapa hubungan selama 15-17 tahun ini. Begitu orangnya ribet, banyak syarat, suka ngatur…. wiiih… langsung ku putusin. Kelar.
Aku ogah punya kehidupan yang ribet.
Rumahku juga kubikin simpel.
Barang-barangku sedikit.
Begitu jadi banyak, semuanya kubuangi..! Hahaha.. Termasuk lemari baju. Begitu baju-bajuku membuatku ribet, semuanya kubuangi.
Lihat kan?
Sampai segitunya aku berusaha ‘membersihkan diri’ agar hidupku simpel dan tenang. Karena, ketika aku pusing memikirkan pakai baju apa hari ini pun, dapat menjadi stressor bagiku.
Aku membantu menjaga kestabilan diriku, demi anakku. Anakku adalah fokus utama hidupku.
Selain itu, juga agar aku bisa meladeni curhatan orang dan membantu mereka yang membutuhkan bantuan.
Tapi… ya ada tapinya…. Karena aku sendiri punya riwayat depresi, begitu orang yang kutolong tersebut menjadi jadi ribet (misalnya jadi bergantung dan tak kunjung bangkit dari masalahnya, tetapi ngeluuuuuh melulu) ya aku tinggal..!
Kalau sikonnya berpotensi membuatku ‘sakit’ ya aku memprioritskan keselamatanku dong….
Intinya, aku sadar : aku adalah si ‘pincang’ yang berkali-kali kena serangan kelumpuhan karena depresi. Aku tidak bisa ‘menggendong’ orang lain yang ‘terkapar’ dihajar kehidupan. Tapi aku masih bisa ‘memapah’ dan ‘menggandeng’ orang yang kesusahan, untuk bersama-sama menuju jalan keluar. Karena dia masih mampu berdiri dan berjalan sendiri. Aku tinggal menemani saja.
Kalau ketemu orang-orang yang beneran ‘terkapar’, biasanya kuserahkan saja ke Ina atau ke beberapa psikolog sejati yang sangat kukenal reputasi baiknya.
Jadi…?
Siapa bilang aku perkasa?
Siapa bilang hidupku selalu lancar..?
Meskipun aku babak-belur menghadapi kehidupan, tapi pantang bagiku ‘rebah’ berlama-lama di tanah, apalagi bunuh diri.
Sampai saat ini aku masih terus mengelola diriku. Depresi dapat kembali sewaktu-waktu jika tidak dijaga.
Colek Visera Cbo Ninik.
Mari kita berjuang bersama.
Minggu Pon, 24 Oktober 2021, 17:27
***