Mahasiswa UT – Sketsa Budaya versus Jati Diri adalah sebuah karya dari seorang Nana Padmo. Bila merasa tertarik dengan tulisan dan pemikirannya silahkan ikuti akun sosial medianya. Karena disanalah beliau sering membagikan buah pikirannya.
***
Mengenali diri itu memang bukan perkara mudah. Padahal, mengenali diri itu super krusial karena banyak orang meneruskan hidup dengan sia-sia, lantas mati, tanpa pernah menjadi dirinya sendiri. Boro-boro menjadi the best version of selfnya, dan berbahagia dengan hidupnya.
Jangankan mahasiswa semester 1; bahkan orang-orang seusia 30-40an tahun saja banyak yang melongo ketika ditanya ‘Siapakah kamu dan apa yang kau mau di dalam hidup ini?’
Lantas menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sesuai sketsa masyarakat; bukan sesuai dirinya sendiri.
Kebanyakan dari kita, menjalani hidup sesuai APA KATA MASYARAKAT.
Sesuai kehendak masyarakat.
Sesuai ‘perintah’ dan preferensi orang tua dan keluarga besar.
—- singkatnya : kita TIDAK hidup sesuai panggilan dan jatidiri kita sendiri…!
********
Sudah tak terbilang banyaknya, aku dicurhati oleh perawan dan bujang… yang nangis-nangis, mengeluh didesak untuk segera menikah, atau dipaksa mengambil jurusan kuliah tertentu, diwajibkan mamaknya untuk segera ‘membahagiakan orang tua’, segera memberi cucu, segera setelah tamat akademi… dll, dst, dsb.
Mereka lantas menikah.
Mereka lantas kuliah di jurusan paksaan.
Mereka lantas ‘membayar hutang budi’ pada ortu.
Lantas merasa bahagia…?
Celakanya, tidak.
Sekedar sukses menjalani lakonnya aja tidak. Apalagi bahagia.
Hidup dijalani ala kadarnya.
Aku kenyang dengan kisah-kisah seperti ini.
Dan menjadi marah… ketika mendengar berita :
Mereka lantas bercerai atau hidup dalam pernikahan yang membuat mereka bolak-balik depresi (setelah depresi pun masih dicerca dengan hujatan : kamu kurang beriman!)
Sebagian dari mereka lantas menganggur (atau bekerja sambil menenggak pil anti depresi) karena bekerja diluar minat dan bakat.
Kepada seorang perempuan yang bercerai karena dipukuli suami dan tidak dinafkahi selama 2 tahun menikah (pernikahan itu hasil perjodohan paksa, yang memakai argumen manipulatif seperti : berbaktilah kau pada orang tua, nak. Mamamu ini sudah banyak berkorban untukmu) aku bertanya :
“Lantas apa kata ibumu?”
“Kata mama, rumah tanggaku adalah tanggung jawabku. Terserah aku, katanya.”
Woooooooo….!! Simbok k0y0k t3l3k…!!!
Rupanya dia nggak mampu menghadapi ‘gempuran’ masyarakat yang bertanya secara agresif :
‘kapan gadismu menikah?’
‘Gadismu belum laku?’
‘Gadismu tunggu apa? Kan sudah cukup umur…’
Ortu lembek kayak cairan mencret yang nggak mampu melindungi anak-anaknya agar menjadi dirinya sendiri… akan SELALU JADI KORBAN SKETSA BUDAYA… Lantas MENINDAS anaknya sendiri, agar si ortu TERBEBAS dari tututan masyarakat tersebut.
Pokoknya anaknya sudah menikah. Ortu nggak dikejar-kejar cocotan tetangga dan keluarga besar lagi. Tapi ketika anaknya menderita dalam memikul itu semua..? Mereka nggak peduli.
Yang begitu itu, apakah pantas disebut ortu..?
Mereka cuma pengecut yang menjadikan anaknya sebagai tameng hidup.
Di mataku, mereka nggak lebih dari mamalia berkaki empat. Gagal menjadi manusia berbudi luhur dan memiliki kedalaman batin untuk mengenali siapa dirinya, siapa anaknya, dan kemana panggilan hidupnya
Okelah.
Mengenali diri itu memang sulit.
Kita perlu belajar psikologi, human design, sacred contract, kaballah, ba zi, astrologi.. atau segala ilmu esoterik itu.
Sini kuajari cara gampang. Pakai logika aja :
Kenali apa saja sketsa masyarakat.
Lalu cocokkan dengan diri sendiri.
Klik nggak?
Nah, kalau klik : jalani.
Kalau nggak klik : IKUTI SUARA HATIMU…!!!
Begitu.
Bukannya malah mengikuti apa kata masyarakat atau apa kata ortumu.
Karena dirimulah yang seharusnya menjalani hidupmu. Bukan masyarakat yang harus melakoninya. Bukan ortumu juga…!
Contoh nyata :
* Dari sejak bisa memilih mainan, anak perempuanku suka warna biru.
Apa kata masyarakat?
Mereka bilang ‘Anak cewe itu ‘mustinya’ suka warna pink dong Na…’
—> aku biarkan Nesa suka warna biru. Karena Nesa itu ‘mustinya’ ya jadi Nesa..!!! Tetap jadi dirinya sendiri.
—> aku lantas melindungi anakku dari nyinyiran tetangga dan keluarga besar soal ‘warna ideal menurut sketsa budaya’ ketika anak itu masih kecil dan belum bisa berargumen.
—> akulah yang menghadapi.
Kubilang pada mereka :
“Warna itu nggak ada jenis kelaminnya. Emangnya pink punya v4g1n4? Lagipula, kalian bisa nunjukin dimana letak tytydnya warna biru..? Dimana..?’
* Panggilan hidup itu bisa aneka. Pilihannya bukan cuma beranak-pinak. Jadi ketika anakku bilang, dia tidak tertarik punya anak karena menurutnya populasi dunia sudah mengerikan, aku oke saja dengan keputusannya.
Sketsa budaya mewajibkan semua perempuan menikah? Yo konoh. Karepmu. Tapi bagiku, kebahagiaan anakku lebih penting daripada ‘kebahagiaan masyarakat’. Ngapain aku memaksa dia untuk punya anak, jika itu membuatnya jadi tak bahagia…? Salah-salah dia malah menjadi ibu yang kejam karena tak mampu sabar dan bijak memperlakukan anaknya.
* Perempuan itu musti di belakang suaminya atau minimal tidak mengungguli lelaki.
Kata siapa? Kata masyarakat?
—> well, aku bertanya pada diriku dan jawaban hatiku bilang begini, ‘aku nyaman dan bisa percaya pada siapapun yang berkompeten memimpin.’
Maka kepada masyarakat aku memproklamirkan : aku tak keberatan dipimpin siapapun; lelaki, banci, perempuan, transgender atau cyborg sekalipun… asalkan dia memang bisa memimpin, pintar, dan bijak. Tapi minggirlah dari hadapanku jika kau tolol, narrowminded, dan kacau dalam pengambilan keputusan. Sekalipun p3n1smu panjangnya 14 cm dan otot lenganmu sebesar tiang pancang flyover saking machonya.
* Profesi perempuan itu musti yang feminin dan nggak jauh dari area domestik.. sementara lelaki cocoknya jadi scientist atau insinyur.
Kata siapa? Sketsa masyarakat?
—> Well, kukatakan pada lelaki manapun yang tertarik jadi koki atau kerja salon atau bahkan jadi bapak rumah tangga : jadilah seturut kehendak dan panggilan hatimu. Kalian pasti excellent banget, kalau bekerja di bidang yang menjadi passionmu.
Demikian juga bagi perempuan yang hendak jadi scientist, pembalap mobil, supir truk antar kota, CEO, dan presiden. Apapun.
Kenali dirimu, dan jadilah dirimu.
Kenali dirimu, dan jadilah dirimu.
Kenali dirimu, dan jadilah dirimu.
Berbahagialah terbang meninggalkan sarang, jika ternyata kau adalah elang yang kebetulan dibesarkan oleh seekor induk ayam.
Kau JUSTRU mengkhianati kehendak penciptamu, jika kau memilih berkotek dan mengais-ngais cacing di sekitar sarang ibumu… hanya karena ibumu gagal mengenali keistimewaanmu.
Hanya karena seluruh penghuni kandang ayam itu tidak cukup memiliki wawasan bahwa ada unggas jenis lain, selain ayam. Ngapain kita nurutin segerombolan yang kudet..?
Nana Padmosaputro.
Jakarta,
Jumat 30 Agustus 2019, 14.50
~ repost Selasa Wage, 31 Agustus 2021, 14:33
———
Catatan gambar :
Pesanku untuk anak gadisku : langit adalah batasmu, nak. Persetan dengan sketsa budaya. Kau bikin budayamu, dalam hidupmu sendiri.
***