Mahasiswa UT, Teori Belajar Konektivisme – Tulisan ini adalah materi belajar yang untuk kegiatan Tuton UT pada mata kuliah Sistem Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh.
Apa itu Pendidikan Terbuka?
Pendidikan Terbuka didefinisikan sebagai suatu visi akan kondisi ideal sistem pendidikan yang dapat diakses oleh setiap orang tanpa kendala atau dengan kendala minimal, sehingga dalam konsep pendidikan terbuka, fleksibilitas sistem untuk menghilangkan kendala yang disebabkan oleh usia, waktu, lokasi tempat tinggal dan keadaan ekonomi seseorang menjadi sangat sentral.
Teori Belajar Dasar Kurikulum
Kognitivisme
Memperhitungkan proses psikologis internal yang terjadi dalam diri seseorang, yang melibatkan pengalaman dan nilai (values) yang
dimiliki.
Konstruktivisme
Pengetahuan yang dimiliki seseorang lebih merupakan hasil olah pikir mandiri, baik secara mandiri atau melalui kolaborasi dan interaksi dengan orang lain, atau dengan mengakses berbagai sumber pengetahuan.
Behaviorisme
Menjelaskan bahwa perilaku seseorang esensinya merupakan respon atau tanggapan terhadap suatu stimulus atau rangsangan dari luar.
Pemrosesan Informasi
Bagaimana informasi diterima dan diproses oleh panca indera untuk disimpan dalam ingatan jangka pendek maupun ingatan jangka panjang.
Konektivisme
Proses “belajar” terjadi saat seseorang terhubung dengan orang lain serta memberi kontribusi gagasan kepada komunitas.
Teori Pendidikan Jarak Jauh
Hingga saat ini ada tiga teori utama yang digunakan dalam Pendidikan Jarak Jauh, yaitu:
Sosial-Konstruktivisme
Percaya akan adanya faktor csosiar yang didasarkan pada pengetahuan, pengalaman, dan persepsi yang ada dalam diri peserta didik.
Kognitif-Behaviorisme
Mendefinisikan ‘ belajar’ sebagai ‘perilaku baru atau perubahan perilaku yang terjadi sebagai respons seseorang kepada suatu stimulus’.
Konektivisme
Mendefinisikan telajar’ sebagai proses membentuk jejaring informasi, kontak, dan sumber daya informasi yang relevan dengan masalah-masalah riil.
Teori Belajar Konektivisme
Konektivisme merupakan faham yang masih relatif baru dan diperkenalkan oleh George Siemens dan Stephen Downes pada pertengahan tahun 2000an. Mereka menyatakan bahwa di era teknologi informasi ini, dimana berbagai perangkat komunikasi telah saling terkoneksi dalam suatu jejaring global, proses belajar justru terjadi pada titik-titik (nodes) jejaring (network) di luar individu peserta didik.
Secara spesitik, Downes (2007) mendefinisikan `belajar’ sebagai proses membentuk jejaring informasi, kontak, dan sumberdaya informasi yang relevan dengan masalah-masalah riel. Jadi, pengertian belajar ini berfokus pada menciptakan dan memelihara koneksi jejaring sehingga up-to-date dan cukup fleksible sehingga bisa terus diterapkan sesuai dengan kebutuhan untuk pemecahan masalah-masalah yang dihadapi.
Konektivisme bcrasumsi bahwa pada era ini informasi begitu berlimpah sehingga peserta didik tidak perlu mengingat semuanya, tetapi harus memiliki kapasitas untuk menemukan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan pada saat dan di mana mereka memerlukannya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa konektivisme ini mengasumsikan bahwa setiap peserta didik sudah terkoneksi satu sama lain melalui jaringan internet, dan mereka juga dapat mengakses berbagai artifak dan materi digital kapan saja, dimana saja.
Di beberapa belahan dunia, kondisi interkonesitas ideal ini tentu saja saat ini belum seluruhnya dapat dipenuhi sehingga paham konektivisme juga menjadi kurang pas. Namun demikian, sebagai suatu teori, konektivisme ini mendapatkan pengakuan yang semakin luas seiring dengan perkembangan aksesibilas masyarakat terhadap jejaring global Internet.
Lebih jauh, Downes (2007) menjelaskan bahwa dalam konektivisme tidak ada konsep transfer ilmu pengetahuan ataupun menciptakan ilmu pengetahuan. Kaum konektivisme meyakini bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil interaksi yang terjadi dalam simpul-simpul jejaring informasi, sehingga pengertian `belajar’ lebih kepada pengembangan diri sebagai akibat dari kegiatan yang dilakukan.