Privasi

PRIVASI – Hampir bisa dipastikan, aku tidak bertanya ‘berapa anakmu, siapa istrimu/suamimu’ ke teman. Apalagi teman yang kukenal dari medsos. ‘Interogasi’ seperti itu bukan caraku membina hubungan.

Bahkan ke partner kerja, sesama founder komunitas parenting saja… aku TIDAK bertanya siapa nama istri/suaminya, berapa anaknya, di mana rumahnya, apa pekerjaan pasangannya.

Bagiku, apapun informasi YANG TIDAK DIBERIKAN kepadaku, tidak akan kutanyakan. Aku menghargai keputusan setiap orang untuk membagi atau tidak membagi info. Pengetahuan tentang informasi pribadi ini akhirnya kuperoleh seiring dengan berjalannya waktu, dari pengakuan atau cerita mereka sendiri ketika kami ngobrol.

Begitulah caraku menghargai privasi orang. Merawat pertemanan dan persahabatan bisa dengan cara : membahas topik yang lain. Banyak hal asik yang bisa diobrolkan dan didiskusikan, TANPA tanya-tanya hal pribadi.

Jika aku sedang sungguh-sungguh gabut (dan ini jarang sekali, belum tentu kulakukan 2 tahun sekali), aku akan mengunjungi akun medsosnya untuk melihat : informasi apa saja yang tersedia.

Bagiku, semua INFORMASI PRIBADI yang dibagikan di akun medsos, adalah informasi yang dimaksudkan sebagai KONSUMSI PUBLIK. Nah, data-data yang kudapatkan di sini akan kujadikan sebagai bahan membangun bonding. Misalnya bertanya “Anak perempuanmu bernama Clarins ya? Pinter banget nari Balinya. Aku lihat tiktoknya kemarin. Kelas berapa dia sekarang?”

Begitu.

Itu makanya, jika ada orang bertanya padaku, “Apakah si A punya istri?”, maka akan kujawab “Cari saja di medsosnya.”

Kalau tidak ada foto perempuan manapun, ya kemungkinannya bisa dua :

  • dia tidak beristri
  • dia beristri, namun tidak mewartakannya.

Kalau ini yang terjadi, ngapain kita memaksa mencari tahu?

Untuk apa juga gitu, kita tahu…? Badan kita nggak jadi lebih sehat, saldo rekening kita nggak bakal nambah hanya karena tahu dia beristri atau tidak.

Baca juga:   Kita Berakal, maka Kita Berpikir dan Merencana

Nggak relevan bagi hidup kita. Kecuali kita naksir sama dia dan ingin memastikan dia ‘available’.

********

Menyikapi privasi para pesohor.

Dengan cara berpikir yang sama, demikian juga aku menyikapi para pesohor.

Ketika sepasang ibu dan anak ‘memutuskan’ bertengkar di medsos, sampai ketahuan bahwa suami baru si ibu memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan anak-anak tirinya, janganlah mengeluh ‘ini privasi ya, kalian para netizen itu kepo banget sih…’

Lho…! Sejak awal kalian menjadikan pertengkaran itu sebagai KONSUMSI PUBLIK kok. Maka, otomatis, publik terbagi menjadi 2 golongan besar :

  • publik yang tidak peduli
  • publik yang peduli (dan kelompok ini bisa terbagi menjadi aneka sub-kelompok : publik yang mengamati secara pasif, publik yang bijak dan mengambil hikmah, publik yang menghakimi, publik yang kontra, publik yang pro, dan publik yang saling bertengkar sendiri).

Masyarakat, pada umumnya bersifat reaktif seperti api. Kalau ada bensin ya nyala. Kalau bensin habis ya redup bahkan mati. Maka ketika ibu dan anak tersebut memutuskan untuk menarik masalah pribadi ke ranah privasi kembali…. Masyarakat menjadi diam.

Demikian juga dengan yang baru-baru ini terjadi. Seorang anak presiden menjadikan kisah kasihnya sebagai konten di akun medsosnya. Sekedar pakai topi kembar saja, diupload. Jalan bareng, diupload. Kangen dan ngebucin, diupload. Maka jadi konsekuensi logis, ketika followernya bertanya “Lho ada apa?” ketika melihat foto pacarnya menghilang TANPA penjelasan.

Acara pacarannya diumbar ke publik, kok ketika putus, tak ada berita. Ya wajar kalau jadi pertanyaan. (Kemudian, rumus pembagian kategori publik kembali terjadi : publik yang peduli menjadi aneka sub kategori… bahkan yang tadinya tidak peduli pun jadi aware….) Semakin ramai…

Baca juga:   Tips Membuat Jadwal Belajar Efektif

Namun, tidak semua pesohor menjadikan urusan pribadi sebagai konsumsi publik. Ada banyak sekali yang hanya menceritakan kisah kasihnya, ketika tinggal selangkah menuju pernikahan. SUDAH terjadi lamaran, SUDAH memesan semua perangkat perhelatan mulai dari ‘pihak yang mengesahkan ikatan’, gedung, undangan, foto prewed dll.

Nah, tapi ada juga sikon yang berbeda :

Ketika seorang pesohor ini TIDAK menyodorkan berita pribadi, namun wartawan dan masyarakat awam melakukan tindakan penguntitan dan memotret mereka dari jauh ketika sedang bersama seseorang (kegiatan paparazzi), lalu mencecarnya, memaksanya menjelaskan siapa orang itu….

Atau menyebarluaskan informasi pribadi yang TIDAK dijadikan sebagai konsumsi publik (karena info itu diperoleh dari menginterogasi ART, sopir si pesohor, tetangganya, atau sepupu dan anggota keluarga) maka, cocoklah kalau pesohor ini menjadi marah dan mengatakan : JANGAN USIK URUSAN PRIBADI SAYA…!

Dan jika dia sudah protes begitu, tetapi kamu ngeles dengan argumen : ‘siapa suruh jadi artis. Resiko jadi artis itu sih!’

Maka…. sesungguhnya, kamulah yang barbar sekali. Sekaligus juga pekok, karena nggak bisa membedakan bahwa pekerjaan artis adalah akting dan filmnya (atau nyanyiannya), BUKAN hal pribadi yang dia simpan untuk dirinya sendiri.

Jangan pamer kebodohan dan kekurangan adabmu menjadi pengetahuan publik.

STOP sampai di dirimu saja…!

***

Original Writer by Nana Padmo dengan Judul “MENDIDIK ITU MELATIH, BUKAN MELARANG”
pada13 Februari 2020
Cek Original Post here…
Ikuti Nana Padmo di:
Twitter – @NanaPadmo
Facebook – Nana Padmo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *