Mahasiswa UT – Beberapa hari lalu, Syagita Putri Rizki menulis postingan kira-kira berbunyi seperti ini : ‘Setiap kali narotin orang yang akan menikah, kok hasilnya jelek semua….’
Dalam hati aku ngebatin : Ya memang begitu. Setiap kali aku narotin pasangan yang mau lanjut ke jenjang pernikahan… 8 dari 10 sebetulnya adalah pernikahan yang ‘maksa’. Bukan jodohnya.
Tapi umumnya mengeluh : ya gimana tante, kami sudah pacaran lama…. Ya oke, nikah aja. Tapi jangan heran kalau di tengah jalan nanti sama-sama ketemu jodohnya lho. Itu bukan perselingkuhan lho. Tapi ketemu jodoh. The real jodoh. Sayangnya jodohmu juga sudah menikah dengan orang lain…. semata karena di negeri ini, mereka semua DIBURU-BURU MENIKAH,
MESKIPUN BELUM KETEMU JODOHNYA…!
Ribet.
Ribet yang dibikin sendiri.
Hasil budaya dan cara berpikir yang tidak berdasarkan suara batin. Melainkan suara tetangga 😃
********
Aku nggak tahu sejak kapan orang Indonesia sangat mendewakan perkawinan. Umur baru piyik, badan masih segede kencur sudah gegeeeer mencari jodoh. Kayak orang sakit yang panik mencari obat. Padahal, jodoh itu nggak selalu datang di usia 20-an atau 30-an.
Celakanya, 99% manusia di negeri ini, dibesarkan dengan parenting yang toksik atau oleh ortu yang PAMRIH ketika membesarkan anak (ciri ortu pamrih : menuntut balas jasa. Meminta anak berbakti. Biasanya sambil mengancam, mengutuk, dan memaki). Nah…! Lalu dari mana anak belajar mencintai dengan tulus…???
Lha emak bapaknya aja cara berpikirnya begitu kan? ‘Kamu sudah dibesarkan dan dibiayai! Mana baktimu…!’
Modyar.
Lantas anak-anak ini tumbuh menjadi individu dewasa yang piawai bertransaksi ketika membina hubungan cinta. ‘Saya sudah berkorban begini, begini, begini… Kamu ngasih apa?”
Persis…! Kan..? 😌😌
Bayangkan apa jadinya kalau : orang yang tidak mencintai dirinya (dan oleh karena itu, tidak pula mampu mencintai orang lain dengan tulus) lantas membina hubungan dengan orang yang JUGA tidak bisa mencintai dirinya (dan oleh karena itu tidak pula mampu mencintai orang lain dengan tulus)….
Cerai adalah keputusan paling logis (dan gampang) dari semua keruwetan ini, ketimbang membangun kemampuan self-love and love others.
********
Naaaah sekarang mari kita merenung.
Di negeri yang penuh dengan ‘pesakitan cinta’ dan ‘fakir cinta’ inilah, kita lantas menjadi janda dan duda.
Sejak awal sudah tak piawai mencintai diri dan mencintai orang lain, sekarang memiliki trauma cinta. Luka batin. Plus, janda dan duda ini membawa anak pula dari perkawinan terdahulu… Maka mencari pasangan baru akan menjadi tantangan yang semakin berat. Jauh lebih berat dibandingkan saat lajang.
Apalagi kalau ekspektasi kita nggak pas :
~ Menuntut dikawini, agar ada yang bisa menafkahi. Atau
~ Menuntut lamarannya diterima, agar ada yang mengurus dirinya dan rumahnya.
Hubungan transaksional.
Hubungan transaksional.
Hubungan transaksional.
Nana Padmo
Kamis Kliwon 25 November 2021, 09:40
***