Mahasiswa UT, Ambisius: Panggilan Hidup atau Sekedar Ego – Tadi ada pertanyaan yang baguusss banget dari mas Ghiyas Yulifardana : gimana caranya mencari tahu, apakah itu panggilan hidup atau pemuasan ego?
Caraku begini :
Periksa apakah kita meletakkan pride atau ‘harga diri’ pada tujuan kita, atau tidak.
Contoh,
jika kita melakukan pekerjaan/kegiatan kita, coba merenung sebentar :
– aku melakukan ini karena apa dan untuk apa?
– apakah aku melakukan ini karena sungguh berminat pada hal ini, dan ingin membangun skill dan mengembangkan diri di bidang ini?
– atau aku melakukan ini demi pride, kebanggaan diri, atau harga diri?
– apakah aku akan merasa kecewa ketika tidak ada tepuk-tangan atau pujian ketika aku mengerjakan hal ini dengan baik?
– apakah aku akan merasa kecewa ketika tidak dianggap hebat atau berhasil pada hal ini?
Sesungguhnya, ada beda besar antara sikap ‘terpanggil’ dengan sikap ‘ego’.
Orang yang hidup dalam ‘panggilan’ (living a driven life), akan mengerti bahwa semua yang dilakukannya ini bukan karena ego, sebab bukan pujian yang dia cari.
Bukan juga mencari pengikut. Melainkan, dia melakukan semua ini karena ada dorongan yang kuat untuk melakukannya. Dan ketika hasilnya baik, hal itu memberikan kepuasan batin baginya.
Nah di sinilah, istilah self-rewarding itu jadi pas digunakan. Orang-orang yang merasa terpanggil itu akan berkata, “I llllove this job. This is self-rewarding to me.”
Aku mencintai pekerjaan ini. Sekedar melakukannya dengan baik saja sudah membuatku bahagia.
Tapi kalau kita belum pernah mengalami rasanya ‘driven’ atau terpanggil oleh hidup (untuk memahami rasa fokus ketika terpanggil)…. mungkin kita bisa membahas contoh lain :
Bayangkanlah dirimu sangaaaat ingin pergi ke Bali, karena selama ini hanya kagum dan menikmati dari TV saja, belum pernah melihat Bali dengan mata kepala sendiri.
Kita lalu rajin menabung… mengirit pengeluaran. Bela-belain puasa, bahkan merasa asik aja (tidak malu atau tertekan) meminum air putih ketika sedang reuni dengan teman-teman; sementara mereka semua pesan makan besar, snack, dan kopi.
Lalu ketika sampai di Bali, kita merasakan kepuasan batin : Aaah! Akhirnya sampai ke sini juga!
Apakah berhasil ke Bali sesuai impian ini cocok disebut ego?
Apakah kepergianmu ke Bali ini karena ingin dilihat oleh orang lain, bahwa kamu ke Bali..?
Kan bukan itu, rasa yang kamu miliki ketika mencapai Bali, to..?
Kamu tidak memposting fotomu di Bali dengan perasaan ‘Nih, gue hebat kan, liburan ke Bali…!’ melainkan dengan perasaan ‘Bersyukur banget sampai Bali, dan aku menikmatinya.’
Mengekspresikan perasaan menikmati dan bersyukur, bukanlah pemuasan ego.
******
Sayangnya, kata ‘ambisius’ banyak dipakai oleh kelompok orang yang malas, untuk mendiskreditkan orang lain yang rajin yang memiliki determinasi tinggi untuk mencapai cita-cita atau keinginannya.
Jadi, ketika sekelompok orang ini melihat orang lain yang memiliki tujuan besar dan fokus pada tujuannya, mereka menganggapnya negatif, yaitu : menganggap mereka terlalu bernafsu atau terkesan egois…
Tapi coba tanyakan apa kesan orang Jepang atau Korea terhadap orang yang punya determinasi tinggi…. Pasti akan bilang : wah mereka itu tangguh dan punya dedikasi
***